Kamis, 2 Maret 2017
Hari Kamis setelah hari Rabu
Ul. 30:15-20; Mzm. 1:1-2,3,4,6; Luk. 9:22-25
”Anak manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” (Luk. 9:22)
Belum lama berselang, Ibu saya bercerita bahwa saat Bapak menjabat sebagai Kepala Sekolah sebuah SMA Negeri di kabupaten kami tinggal, Ibu malah menjadi menjadi sering “tombok” (Jawa: berkorban, kehilangan, biasanya masalah barang atau uang). Bahkan untuk rapat di sekolahpun Bapak seringkali minta Ibu saya menyiapkan snack dan makanan, kemudian mengirimnya ke sekolah Bapak. Bagi saya pribadi dan keluarga, kami memakluminya karena mengenal almarhum Bapak sebagai orang sangat jujur, lurus dan pekerja keras. Tidak mau merugikan orang lain, tidak mau bersikap tidak jujur, kadang lebih sering memilih berkorban. Padahal di masa itu, jabatan kepala sekolah di sekolah negeri dianggap sebagai menempati “lahan basah”, banyak rejeki tambahan, banyak peluang memperkaya diri sendiri. Namun bagi keluarga kami, posisi itu malah sebagai “lahan kering”. Bapak saya menentang arus kehidupan dan pilihan di masanya, dengan memilih bersikap jujur dan berani berkorban. Dan ternyata guru dan staf di sekolah Bapak kemudian melihat sikap ini dan terpengaruh. Warna dan aura sekolahpun pelanpelan menjadi berbeda. Kejujuran dan kepedulian, sikap adil dan kerja keras menjadi warna sehari-hari. Ibaratnya, Bapak saya tengah mengikuti Kristus dan seringkali harus menyangkal diri sendiri dan menyangkal keinginan memperkaya diri, dan karenanya memikul salib setiap Kristus hari (Luk 9:23).
Pertanyaan reflektif:
- Apakah aku pernah berani menentang arus kehidupan di sekitarku dengan bersikap jujur dan berani berkorban bagi sesamaku? Apakah yang mendasari sikap tersebut?
- Apakah aku punya pengalaman sebaliknya, aku bersikap egois, tidak jujur dan tidak bersedia berkorban
- bagi orang lain? Apa penyebabnya?
Marilah berdoa:
Ya Allah, bantulah kami agar mampu merasa, berpikir, berucap, dan bertindak seperti Yesus sendiri, sehingga setiap pertimbangan dan keputusan yang kami buat sungguh-sungguh makin membuat kami berani memanggul salib kami dan berani berkorban bagi sesamaku, demi membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Amin.
(J. Sigit Prasadja, SJ)