Minggu, 5 Maret 2017
Hari Minggu Prapaskah I
Kej. 2:7-9;3:1-7, Mzm. 51:3-4, 5—6a, 12-13,14,17; Rm.5:12-19;
Mat. 4:1-11
“Enyahlah Iblis! Sebab ada tertulis, Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dia sajalah engkau berbakti!”
Seorang penulis bernama Henry J Nouwen pernah menulis bahwa cinta dunia adalah cinta yang bersyarat. Kita sering mendengar penggunaan kata “jika” dalam pembicaraan. Misalnya, “Ya... saya akan mencintaimu jika kamu menarik, cantik, pandai, dan kaya. Saya mencintaimu jika kamu berpendidikan, punya pekerjaan baik, mem- punyai banyak relasi. Saya mencintaimu jika kamu meng- hasilkan banyak, menjual banyak dan membeli banyak.” Disebut sebagai cinta bersyarat artinya cinta tetap ada bila kondisi-kondisi yang menjadi syarat-syarat itu ada, bila kondisi-kondisi tidak ada maka tidak ada lagi alasan untuk mencintai.
Gagasan tentang cinta bersyarat mengingatkan kita pada bacaan hari ini. Hubungan bersyarat itu tampak dalam dialog antara Setan dengan Yesus. Mari kita per- hatikan kalimat-kalimat yang dikatakan Setan kepada Yesus. Setan berkata: Pertama, “Jika Engkau Anak Allah,
perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti.” Kedua, “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu ke bawah, sebab ada tertulis: Mengenai Engkau Ia akan memerin- tahkan malaikat-malaikat-Nya dan mereka akan menatang Engkau di atas tangannya, supaya kaki-Mu jangan terantuk kepada batu.” Ketiga, “Semua itu akan kuberikan kepada- Mu, jika Engkau sujud menyembah aku.”
Dialog yang terjadi antara Setan dan Yesus, bukan sekedar peristiwa untuk menguji ketahanan Yesus pada rasa lapar, pada rasa takut, dan pada nafsu tamak. Dua hal dapat kita ambil sebagai hikmah dari kisah pencobaan di padang gurun ini. Pertama, Yesus teguh pada keyakinan diri-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah. Seandainya Yesus tunduk pada perintah setan, maka Ia bukan Anak Allah lagi. Hal itu terjadi pada Adam dan Hawa seperti dalam ba- caan pertama hari ini. Mereka jatuh ke dalam dosa, karena tunduk pada bujukan Setan. Kedua, cinta Yesus sangat berbeda dengan gaya Setan. Cinta Yesus tidak bersyarat. Yesus mencintai, karena Ia ingin mencintai seperti Bapa mencintai semua orang. “Cinta” setan selalu bersyarat dan memperbudak.
Masyarakat kita membutuhkan orang-orang yang tulus berbagi kasih dan perhatian demi terciptanya keadilan dan keadaban. Karena itu menerima pemimpin bukan karena agama, suku sama tetapi karena sikap kepemimpinannya. Di sisi kita, kita dapat menyumbangkan apa pun yang kita
punya tanpa pamrih demi kebaikan masyarakat. Bukan karena cari untung secara materi, atau demi ketenaran, bila kita menolong seseorang, kita ingin semata-mata orang itu terbantu. Tidak ada maksud lain. Kita membutuhkan doa dan dukungan supaya kita bisa mencintai tanpa syarat.
Pertanyaan re ektif:
Apakah kita sudah memberikan bantuan dan pertolongan dengan tulus hati?
Marilah berdoa: Ya, Yesus mampukah kami mencintai seperti Engkau mencintai. Amin.
(ML Supama)