Renungan Harian APP KAJ 2017 - Mewujudkan Hukum Kasih yang Bermutu
Terakhir diperbaharui: 24 March 2017
Jumat, 24 Maret 2017
Hari biasa Pekan III Prapaskah
Hos. 14:2-10; Mzm. 81:6c-8a, 8bc-9,
10-11ab, 14,17;Mrk. 12:28b-34
“Memang mengasihi Dia dengan segenap hati dan dengan segenap pengertian dan dengan segenap kekuatan, dan juga mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri adalah jauh lebih utama dari pada semua korban bakaran dan korban sembelihan.” (Mrk 12:33)
Jika kita berniat meningkatkan kualitas kasih kita kepada Tuhan Allah dan kepada sesama, sebagai hukum utama pertama dan kedua yang menghantarkan kita masuk ke Kerajaan Allah, maka pertama-tama, kita perlu melihat apa yang kurang dari perwujudan kasih kita selama ini.
Kita pasti menyatakan bahwa kita mengasihi Tuhan Allah: kita berdoa, bersekutu, menghadiri Misa dan menerima sakramen, baca Kitab Suci, belajar Firman dan berusaha menjadi pelaku Firman. Tetapi jika mau jujur, kita masih mengecewakan dalam mengasihi Tuhan, karena belum segenap hati, segenap pengertian, dan segenap kekuatan. Sering kali kita masih men”dua”kan Tuhan, mengasihi Tuhan ala kadarnya, setengah hati atau bahkan di permukaan saja. Hati, pikiran, tenaga dan waktu kita lebih tertambat pada hal-hal yang tidak menghadirkan Tuhan, melainkan ego kita. Tidak berarti bahwa kita hanya boleh mengisi hidup dengan kegiatan religius dan ritual saja, dan menganggap kegiatan lain bersifat sekuler dan tidak penting. Lalu, bagaimana kita bertobat dan berbenah diri ?
Dengan segenap hati, segenap pengertian dan segenap kekuatan adalah sikap mental. Jadi kegiatan baik apapun yang kita lakukan, yang dipersepsikan religius maupun sekuler, kita lakukan dengan kesadaran penuh untuk menghadirkan Tuhan, dan dengan orientasi tunggal yang bertujuan untuk makin memuliakan Tuhan, bukan hanya demi kepopuleran dan keuntungan pribadi.
Misalnya, dalam belajar, berkarya atau melayani, kita tidak hanya bertujuan untuk memperoleh kepandaian, kekayaan dan ketenaran. Namun, secara sadar kita melakukannya dengan sungguh hati dan tulus, sebagai persembahan kepada Tuhan. Untuk bersyukur atas kesempatan dan kemampuan yang kita peroleh, untuk bermanfaat bagi sesama dan ciptaan Tuhan yang lain. Maka, dalam belajar dan bekerja, kita tidak: malas, sering mengeluh, tidak jujur (menyontek atau korup), bersikap menang-kalah (selalu mau mengalahkan dan menghancurkan yang lain, kalau perlu dengan menghalalkan segala cara) dan egois (tidak mau membagi hasilnya dengan orang lain demi kesejahteraan bersama), bahkan tidak merusak lingkungan hidup.
Kemudian, mengenai hukum utama yang kedua: kasihilah sesamamu manusia seperti diri sendiri. Pasti kita sudah mengasihi sesama manusia, sekurang-kurangnya orang-orang yang dekat dan cocok dengan kita. Tapi bagaimana kita meningkatkan kualitas perwujudan kasih kita kepada sesama?
Kita perlu melihat ke dalam diri kita. Apakah kita sudah cukup dapat menerima dan mengasihi diri sendiri terlebih dulu? Meskipun terdengar kontradiktif, ternyata masih banyak di antara kita yang kurang suka dengan diri sendiri. Ada yang menolak wajah, rambut dan bentuk tubuh, ada yang benci kelemahan, ada yang trauma pengalaman hidup, ada yang kecewa dengan apa dan siapa yang diberikan Tuhan. Akibatnya adalah mudah marah dan menyalahkan Tuhan (jangankan bersyukur), mudah iri hati, dengki dan benci pada orang yang dipandang lebih beruntung, mudah berkhianat dan selingkuh, dan bisa tega terhadap orang lain sebagai ungkapan rasa kecewa dan marah terhadap Tuhan dan sesama.
Ternyata tidak terlalu mudah untuk bisa menerima diri sendiri apa adanya, tidak menyalahkan pihak manapun, lalu bisa bersyukur dan bertumbuh imannya dalam pengharapan akan rencana Tuhan yang lebih besar, dan dalam kasih yang menciptakan hidup damai dan bersaudara satu dengan yang lain. Untuk mengoreksi kemampuan kita menerima dan mengasihi diri sendiri, janganlah kita malu minta pertolongan orang yang lebih tahu, lebih ahli dan lebih berbobot dalam menyembuhkan luka trauma kita.
Sehingga mengasihi sesama seperti diri sendiri sungguh merupakan perwujudan: “aku memperlakukan sesamaku, seperti aku ingin diperlakukan oleh mereka; aku tidak memperlakukan sesamaku dengan cara yang aku sendiri tidak mau diperlakukan demikian”. Dengan demikian, sekaligus kita pun boleh menjadi manusia yang adil dan beradab.
Pertanyaan reflektif:
Maukah aku memperbaiki mutu pengamalan kasihku pada sesama, dengan mulai bersikap lebih adil dan kasih terhadap diri sendiri? Sadarkah aku bahwa keberhasilanku memperbaiki mutu kasihku kepada Tuhan banyak tergantung pada keberhasilanku memperbaiki mutu kasihku kepada sesamaku?
Marilah berdoa:
Allah Bapa yang Maha Pengasih dan Penyayang, aku mau sungguh percaya bahwa Engkau menerima dan menyayangi diriku seperti apa adanya. Hindarkanlah dan kuatkanlah hatiku dari penilaian negatif yang sering melukai dan menyedihkan hatiku, sehingga aku mulai tidak menyukai diriku sendiri, sulit mengasihi sesamaku dan kurang bersyukur serta tidak sepenuh hati mengasihi Engkau. Putra-Mu, Yesus Kristus, adalah bukti nyata betapa besar kasih-Mu kepadaku. Dialah Penebus dan Juru Selamat-ku. Amin.
(Shienta D. Aswin)
Anda merasa konten halaman ini menarik & bermanfaat juga bagi orang lain?
Yuk, bantu sebarkan kabar baik! Like & Share halaman ini dengan KLIK tombol di bawah ini: